Posted by : Hawari Friday, February 21, 2014

Awalnya saya ingin menggunakan frasa “kaum santri”. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika memilih istilah lain untuk menggelari kaum santri Salafy. Pikir demi pikir, yang langsung terlintas di benak adalah frasa ‘kaum thalib’. Dalam bahasa Arab, thalib mengandung makna seorang pelajar, penuntut ilmu, siswa bahkan mahasiswa pun tidak jarang disebut thalib.

Dammaj Yaman


Resolusi diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan ; ” Putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal“. Namun dalam penggunaan sehari-harinya, makna resolusi sering dipersingkat menjadi ‘sebuah tekad kuat’.

Tulisan sederhana ini saya susun untuk sedikit menggambarkan kondisi kaum thalib yang sedang berjuang gigih di negeri Yaman, untuk menghimpun bidang-bidang ilmu warisan Salaf. Secara khusus lagi adalah gantungan-gantungan tanya yang sering bergelayutan di dalam pikiran mereka,”Esok hari, bila tiba di negeri pertiwi, pekerjaan apa yang menanti dan akan digeluti ?”

Suasana akrab itu sebenarnya terjadi beberapa malam lalu. Berlagak sebagai seorang moderator, saya membuka bincang-bincang ringan. Kami sekumpulan kaum thalib, berusaha menimba ilmu dari seorang praktisi bisnis yang kebetulan sedang berkunjung ke tempat kami. Penuh keakraban dan berwarna santai.

Beliau kami panggil dengan sebutan Pak Abu. Usianya sudah lima puluh tahun. Uban-uban putih nampak berjajar rapi di balik kopiah putih yang dipakainya. Pak Abu termasuk pengusaha konveksi yang lumayan sukses di Indonesia. Usia ternyata bukan menjadi penghalang beliau untuk melangkahkan kaki sampai di negeri Yaman demi berthalabul ilmi, bergabung bersama kami, kaum thalib.

“Mumpung ada kesempatan, Pak Abu. Kaum thalib semacam kami ini, yang menghabiskan umur dan waktu untuk mempelajari firman Allah dan sabda Rasul, seringkali dibenturkan dengan sebuah pertanyaan”, begitulah saya memulai.

“Orangtua, saudara, kerabat, tetangga atau sahabat sering bertanya. Bahkan pertanyaan itu juga terkadang malah muncul dari perasaan kami sendiri. Kalau kamu belajar agama sampai seperti itu, besok kamu akan kerja apa? Besok apa yang akan kamu makan, istri dan anak-anakmu?”, saya melanjutkan.

Kemudian saya menutup mukaddimah, “Nah, barangkali Pak Abu bisa berbagi pengalaman. Apakah peluang usaha untuk kami-kami ini masih terbuka di Indonesia? Apakah kaum thalib, yang sebagiannya tidak kuliah atau bahkan hanya lulusan SD ini juga memiliki kesempatan untuk bekerja?”.

Pak Abu hanya senyum-senyum saja. Kami yang hadir juga ikut tersenyum sambil tertawa kecil. Aneh juga, sebelum makan malam malah dikondisikan dengan suasana sedemikian ini. Pak Abu yang berstatus tamu kehormatan malah didaulat untuk berbagi cerita.

Akhirnya Pak Abu memulai juga. Kata beliau,
“Peluang usaha di Indonesia masih terbuka lebar. Mencari uang yang halal banyak jalannya. Yang penting kejujuran dan keuletan harus menjadi dasar utamanya. Tidak perlu berkecil hati karena tidak punya ijazah. Toh, banyak pengangguran malah ke sana kemari menenteng ijazah S1″.
“Rezeki itu sudah diatur Allah. Saya tidak mungkin bisa merebut jatah orang lain yang sudah ditetapkan Allah. Sebaliknya, jatah saya tidak akan mungkin berpindah ke orang lain. Masing-masing sudah diatur oleh Allah”, ujarnya melanjutkan.

Setelah itu Pak Abu mulai bercerita tentang kisahnya memulai usaha konveksi. Dari yang hanya sepotong dua potong sampai kini omsetnya ribuan potong per bulan. Suka dukanya juga tidak lupa beliau ceritakan.
Selain itu, Pak Abu juga menceritakan beberapa ikhwan Salafy yang telah sukses dalam dunia usaha. Mereka yang mula-mula hanya seorang pelaku usaha kecil-kecilan, sampai di kemudian waktu menjadi pengusaha sukses. Pedagang herbal, penjual kue pukis, penjahit bordir pakaian adalah beberapa contoh nyata yang disebutkan oleh Pak Abu malam itu.

Seorang kawan lalu mengajukan pertanyaan, “Usaha itu kan butuh modal, Pak Abu. Sementara kami, dapat dari mana modalnya?”.
Pak Abu menjawab, “Yang penting memulai. Adanya hanya sepuluh ribu, ya sepuluh ribu dulu. Setelah itu pasti berkembang jika kita serius dan tekun, insya Allah”.

Beberapa hal yang disampaikan Pak Abu memang terasa mencerahkan pikiran. Perasaan yang sebelumnya terjepit dan terhimpit oleh kejaran tanya ‘Besok kerja apa?’ sudah berangsur menguap. Sampai-sampai seorang sahabat yang hadir di malam itu berujar, “Daripada uang dihabiskan untuk kuliah, bagus Ana pakai untuk modal buka usaha air isi ulang!”.

Allah telah menerangkan langkah-langkah yang ditempuh oleh setan untuk menyesatkan manusia agar kita terhindar dan menjauhi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh setan adalah meniup-niupkan, menghembuskan dan membisikkan kekhawatiran di dalam hati anak manusia. Khawatir miskin, takut fakir, kehilangan harta padahal membutuhkan adalah bisikan-bisikan setan.

Bisikan setan seperti itu, terkadang terdengar oleh telinga kita. “Kalau dari kecil di pesantren, besok mau kerja apa? Kerjaannya cuma hafal Al Qur’an, memangnya nanti mau makan apa? Ngaji terus, ngaji melulu, apakah kamu tidak memikirkan masa depanmu?”.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an,menjelaskan tipu daya setan ini;
 Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:268) 

Ya! Setan dan bala tentaranya tidak akan diam dan tinggal tangan melihat anak cucu Adam berkutat dari waktu ke waktu, mempelajari dan menekuni Kitabullah dan sunnah Nabi. Setan akan bersedih jika menyaksikan sekelompok anak-anak muda Islam tekun dan bersabar memilih Thalabul Ilmi sebagai jalan hidupnya. Ya, setan akan terus menggoda kaum thalib agar jenuh dan bosan.

Tujuan akhirnya? Kaum thalib meninggalkan garis terdepan dalam thalabul ilmi. Nas’alullah as salaamah wal ‘afiyah.
Bagaimana mungkin kaum thalib akan goyang dalam bersikap? Sementara sehari-hari mereka mendengar, membaca dan merenungkan ayat-ayat Allah tentang rejeki. Bukankah mereka benar-benar hafal akan firman-Nya ?

Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. 11:6)
Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri.Allah-lah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 29:60)

Kaum thalib tidak pernah ragu, bila rejeki telah ditetapkan Allah. Mereka tidak akan gentar atau cemas tentang ‘masa depan’ yang sering dijadikan pertanyaan oleh orang-orang. Sebab kaum thalib selalu mendengar, membaca dan merenungkan sabda-sabda Rasulullah yang selalu mengajarkan untuk berusaha keras disertai dengan tawakal kepada Allah.

Memang benar. Untuk bekerja diperlukan keahlian atau ketrampilan. Sementara pesantren-pesantren kita –sebagiannya- tidak mengajarkan hal itu. Ingat, hal ini tidak patut untuk dijadikan alasan untuk tidak mengarahkan anak-anak kita belajar agama di pesantren sebagai kaum thalib.
Pertanyaannya,

“Sumbangsih apa yang telah engkau berikan untuk pesantren? Bukankah seharusnya kita bekerjasama untuk mengembangkan pesantren? Bukannya pesantren malah ditinggalkan!”.
Keahlian dan ketrampilan bisa diberikan juga untuk kaum thalib yang gigih berjuang di pesantren, namun apa yang akan engkau berikan untuk mereka? Jangan hanya mengkritik pesantren!

Sebagai penutup, ijinkan saya mewakili kaum thalib untuk mengucapkan ikrar berikut ini :
Kami kaum thalib, telah bertetap hati untuk menghabiskan waktu mempelajari firman Ilahi dan sabda Nabi. Kami tidak peduli dengan omongan atau cibiran orang-orang tentang thalabul ilmi yang kami jalani.

Walau sering ditanya, “Besok mau kerja apa?”, namun kami tidak pernah berkecil hati. Buktinya kawan-kawan kami tetap hidup dengan senang tanpa mengorbankan harga diri.
Kami kaum thalib, yakin-seyakinnya bahwa Laisal ghinaa bi katsratil ‘aradh walakinnal ghinna ghinan nafsi. Kekayaan tidak diukur dengan harta, kekayaan sejati adalah kaya hati.
Kami sering bertanya tanpa ada jawaban, “Apa yang bisa dibanggakan dari selembar ijazah, jika tidak bisa shalat tidak bisa mengaji?”. Sekali lagi kami percaya bahwa kekayaan hakiki terletak di hati.

Wallahu a’lam

Oleh : Abu Nasiim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz 
Original Post bisa dilihat di ibnutaimiyah.org

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Followers

Lembaga Pendidikan Syar'i SDIT Darul Arqom. Powered by Blogger.

Copyright © SDIT DARUL ARQOM Surabaya | Design Editor by Saiful Islam